Pemerintah Setuju Bensin Dihapus
SPBU Asing Terancam Gulung Tikar
HAPUS PREMIUM: Suasana pengisian bahan bakar di salah satu SPBU di Surabaya.
KOMPOS - JAKARTA – Rekomendasi tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) untuk menghentikan pengadaan bensin dengan research octane number
(RON) 88 atau premium mendapat sinyal lampu hijau dari pemerintah.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), misalnya, mengakui sudah mendengar
masukan dari tim reformasi. Saat ini usul tersebut masih dikaji. ”Tapi,
saya kira itu usul baik,” ujarnya di Kantor Wakil Presiden, Senin
(22/12).
Menurut JK, setidaknya ada dua alasan premium bisa dihapus dari
peredaran. Pertama, saat ini tidak ada produsen yang memproduksi bahan
bakar minyak (BBM) dengan RON 88. Akibatnya, Pertamina harus mengimpor
BBM RON 92, lalu mencampurnya dengan nafta agar turun menjadi RON 88.
”Jadinya susah,” katanya.
Kedua, kualitas BBM dengan angka oktan yang lebih tinggi sudah sesuai
dengan spesifikasi kebutuhan kendaraan bermotor. Saat ini sebenarnya
semua mobil memang mensyaratkan penggunaan BBM dengan RON minimal 92
atau sekelas pertamax agar pembakaran mesinnya lebih sempurna. ”Supaya
mesinnya lebih awet,” tuturnya.
Sementara itu, Menteri ESDM Sudirman Said mengapresiasi apa yang
sudah dihasilkan tim reformasi. Dia menyebutnya sudah sejalan dengan
tujuan pembentukan tim untuk mengurangi seminimal mungkin ruang-ruang
bagi mafia pemburu rente migas. ”Pandangan dari tim RTKM mengalihkan RON
88 ke RON 92 akan mengurangi ruang praktik bisnis kartel,” katanya.
Untuk implementasi rekomendasi tersebut, Sudirman mengatakan butuh
waktu guna berbicara dengan Pertamina. Itu perlu dilakukan karena
Pertamina yang punya kilang.
Terpisah, Direktur Ritel dan Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang
menyatakan, perubahan premium menjadi pertamax bukan tidak mungkin
dilakukan. Malah, waktu dua atau tiga bulan cukup untuk mewujudkan
rekomendasi tersebut. Apalagi kalau kilang milik PT Trans Pacific
Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban digunakan sepenuhnya oleh
Pertamina.
”Kalau bisa dioperasikan, tidak perlu lagi ada pencampuran nafta pada
jenis tertentu untuk menghasilkan RON 92,” terangnya. Di samping itu,
sesuai dengan refinery development master plan (RDMP), seluruh kilang milik Pertamina akan di-upgrade untuk bisa menghasilkan jenis bahan bakar berkadar baik.
”Setiap kilang bisa menghasilkan 200 ribu barel jenis RON 92. Di
seluruh kilang milik Pertamina, bukan Kilang Balongan saja,” ucapnya.
Seperti diberitakan, Pertamina memang sedang menjalin kerja sama dengan
tiga perusahaan minyak asal Jepang, Arab Saudi, dan Tiongkok untuk meng-upgrade kondisi kilang.
Sebab, saat ini enam kilang Pertamina hanya mampu memproduksi 800
ribu barel per hari. Jauh dari kebutuhan nasional yang memerlukan 1,5
juta barel per hari. Kalau proyek sudah disepakati, dibutuhkan waktu
setidaknya empat tahun ke depan untuk realisasi.
Direktur TPPI Basya G. Himawan mengatakan, pihaknya siap bekerja sama
untuk mewujudkan peralihan dari premium ke pertamax. Kilangnya bisa
memproduksi RON 92 ataupun yang lebih rendah. Kepada koran ini, dia
menyebut tidak ada persyaratan khusus agar pemerintah bisa membebankan
produksi ke TPPI. ”Langsung saja. Kami tunggu kepastiannya,” terang
Basya melalui sambunga telepon.
Untuk memproduksi, pihaknya siap bekerja sama dengan Pertamina,
pemerintah secara langsung, atau secara independen. Untuk kapasitas
produksi, kilang TPPI disebutnya bisa menghasilkan RON 92 atau pertamax
sampai 45 ribu barel per hari. Sedangkan premium 60 ribu barel per hari.
Terpisah, Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi
Tinggi Kementerian Perindustrian Budi Darmadi setuju jika bensin premium
dihilangkan. Dengan begitu, tidak ada lagi polemik pengaturan konsumsi
premium dan pertamax. Positifnya, semua mobil akan menikmati bahan bakar
berkualitas lebih baik. ”Mobil-mobil baru seharusnya memang pakai RON
92,” tuturnya.
Menurut Budi, total ada sekitar 10 juta unit mobil yang beredar saat
ini yang menjadi konsumen stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
Namun, dia tidak bisa memperkirakan berapa jumlah mobil yang mengonsumsi
premium. Budi mengakui, pemerintah kesulitan untuk mengontrol pembelian
BBM. ”Mau beli premium, pertamax, solar itu hak konsumen,” ucapnya.
Dengan dihilangkannya premium, hanya akan ada BBM jenis pertamax di
SPBU. Hal itu, lanjut Budi, semakin mempermudah pengawasan dan
mengurangi penyelewengan. ”Seperti LCGC (low cost green car)
itu wajibnya pakai pertamax, tapi banyak juga yang isi premium.
Risikonya tanggung sendiri. Menurut produsen, kalau pakai premium, dua
tahun mesin bisa rusak. Garansi juga bisa tidak berlaku,” tegasnya.
Namun, Budi menolak asumsi bahwa LCGC memakan BBM subsidi dengan
volume yang sangat besar. Pasalnya, penjualan LCGC hanya berkisar 120
ribu unit per tahun atau sekitar 1 persen dari total penjualan mobil
nasional yang tembus 1,2 juta unit. ”Jadi, 99 persen konsumennya dari
mobil jenis lain. Apalagi, LCGC irit banget, 1 liter bisa 20 kilometer.
Kalaupun pakai pertamax nggak akan banyak berpengaruh ke kantong,” jelasnya.
Di tempat terpisah, pengamat ekonomi Aviliani mendukung upaya
penghapusan BBM jenis premium. ”Langkah penghapusan tersebut cukup baik.
Karena berapa pun RON yang digunakan, baik RON 88 maupun RON 92, yang
jelas semuanya harus subsidi tetap. Di sisi lain, penghapusan BBM jenis
premium juga dapat mempersempit ruang gerak mafia migas yang kerap
mempermainkan harga pasar,” jelasnya kepada Kompos.
Aviliani mengungkapkan bahwa jumlah ideal selisih antara BBM jenis
RON 88 dan RON 92 minimal harus Rp 2 ribu. Sebab, hal tersebut akan
memengaruhi daya beli masyarakat terhadap konsumsi BBM. ”Hal itu
bertujuan agar ada peralihan konsumsi masyarakat dari yang semula RON 88
menjadi ke RON 92,” tambahnya.
Pertamina, imbuh Aviliani, juga harus membangun kilang baru agar
dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Selain itu, adanya kilang baru
tersebut akan memungkinkan munculnya harga pasar yang lebih murah
daripada biasanya.
”Dua tahun lalu Pertamina bilang masih kurang pembangunan dua kilang.
Seharusnya dalam waktu dekat segera direalisasikan hal itu agar
ketergantungan impor berkurang,” tuturnya. Dengan adanya kilang-kilang
baru yang beroperasi nanti, dia yakin kapasitas produksi dan kualitas
BBM akan meningkat.
Aviliani juga membandingkan harga di dalam negeri dengan harga di
luar negeri. Indonesia, lanjut dia, menetapkan harga pasar yang
terlampau murah. Karena itu, subsidi pada bukan barang wajib ditetapkan.
Meski nanti pemerintah harus siap menghadapi kekagetan konsumen yang
harus membayar harga lebih mahal daripada biasanya.
SPBU Asing
Rencana kebijakan subsidi untuk bahan bakar RON 92 yang produknya
dikenal sebagai pertamax bisa berdampak buruk pada SPBU asing. BPH Migas
sebelumnya mengusulkan besaran subsidi tetap antara Rp 1.500 sampai Rp
2.000. Kalau angka itu disetujui dan dipindahkan ke pertamax, harga
pertamax bisa turun sampai Rp 7.950 untuk Jabodetabek.
Tentu saja itu jadi mimpi buruk bagi SPBU asing yang masih menjual Rp
9.950. ”Pengalihan subsidi bisa menekan SPBU asing seperti Shell untuk
menurunkan harganya,” ujar Ketua Tim RTKM Faisal Basri. Nah, kalau tidak
mau menurunkan harga karena takut rugi, SPBU asing tetap menjual dengan
disparitas harga yang cukup lumayan. Bukan tidak mungkin itu membuat
pembeli lari.
Anggota Komite BPH Migas Ibrahim Hasyim mengatakan, rekomendasi
tersebut merupakan salah satu upaya untuk membangun kedaulatan energi.
Untuk menjaga iklim, sebenarnya Shell, Petronas, maupun Total punya
kesempatan yang sama untuk mendistribusikan BBM subsidi.
Jadi, nanti di SPBU asing ada harga yang sama untuk produk RON 92. Setiap tahunnya BPH Migas membuka beauty contest
bagi perusahaan-perusahaan yang berminat mendistribusikan BBM subsidi.
Untuk tahun ini, pemenangnya adalah PT Pertamina dan PT AKR Corporindo.
”Silakan saja, siapa saja. Setiap kali seleksi, puluhan perusahaan
ikut. Lantas kita seleksi administrasinya, seleksi teknik, sampai
finansial. Tahun ini pilihan mengerucut dan memberikan penugasan BBM
subsidi melalui badan usaha yang punya infrastruktrur, yakni Pertamina
dan AKR,” jelasnya.
Shell maupun Petronas sebenarnya pernah ikut beauty contest.
Namun, Ibrahim ingat betul, dua perusahaan itu mundur karena ada
beberapa persyaratan yang tidak bisa dipenuhi. Yang paling berat adalah
kepemilikan infrastruktur di luar Jawa atau Jabodetabek.
Kalau mau mendistribusikan BBM subsidi, SPBU asing mutlak perlu
membangun jaringan lagi. Tidak mudah dan butuh biaya besar memang.
Tetapi, itu syarat mutlak karena distribusi BBM subsidi ada di tangan
pemerintah. ”Kalau memenuhi syarat, siapa pun bisa ikut
mendistribusikan,” tuturnya.
Di sisi lain, Ibrahim mengatakan, realisasi dari rekomendasi perlu
karena permintaan atas BBM beroktan tinggi makin besar. Kendaraan
keluaran terbaru disebutnya meminta oktan tinggi untuk menggerakkan
mesin dengan baik.
Shell sebagai salah satu SPBU asing yang terancam gulung tikar karena
menjual bahan bakar RON 92 lebih tinggi daripada Pertamina belum bisa
berkomentar banyak. Country Marketing Manager Shell Retail Julio
Manuputty saat dihubungi semalam memilih menunggu langkah pemerintah
atas rekomendasi itu. ”Kami belum bisa memberikan komentar. Masih
menunggu peraturannya bagaimana nanti,” jawabnya. Ucapan yang sama
muncul saat disinggung apakah rekomendasi yang disampaikan tim pimpinan
Faisal Basri tersebut merugikan pihaknya atau tidak.(dim/owi/wir/dee/c9/kim)
Posting Komentar